Jumat, 19 Desember 2008

Menyikapi PERAYAAN NATAL




I. TANGGAL PERAYAAN NATAL
Memang tidak ada yg dpt memastikan tgl berapa Yesus lahir sbg manusia di dunia.
* Ephiphanius & gereja Orthodox Timur merayakan tgl 6 Januari.
* Gereja Armenian merayakan tgl 19 Januari.
* Clemant Alexander tgl 20 April.
* International Christian Embassy Jerusalem (ICEJ) percaya Yesus lahir di hari raya Tebernakel (sekitar September).
* Kaisar Constantine mulai merayakan Natal pada tgl 25 Desember 325 AD (ditetapkan oleh Constantine sbg Kaisar Roma yang telah menyatakan dirinya menjadi pemeluk agama Nasrani/Kristen, untuk menggantikan hari raya kafir).
II. PERTIMBANGAN FIRMAN TUHAN
1. Sebagai Anak Manusia, Yesus memang memiliki tanggal lahir. Tetapi sebagai Tuhan, Dia ada dari kekal sampai kekal.
(Yesaya 9:5-6; Yoh 1:1,14; 8:58)
2. Ulang Tahun Yesus tidak pernah dirayakan baik oleh orang tuanya, Yesus sendiri maupun para Rasul atau oleh gereja mula-mula. Alkitab memang tidak pernah memcatat peryaan Ulang Tahun para tokoh-tokoh iman. Kalau toh ada, hanya para pembesar seperti Firaun, Herodes, dsb.
3. Apakah merayakan hari Ulang Tahun itu berdosa ? Tidak, bahkan peringatan hari Ulang Tahun adalah wahana yang sangat baik untuk memuliakan Tuhan. Biasanya sanak saudara datang berkumpul. Beberapa orang ada yang menggunakan moment ini utnuk ibadah kecil, dimana Tuhan dimuliakan dan Injil diberitakan, bahkan ada pula yang dimenangkan untuk Tuhan.
4. Perayaan Natal sudah terlanjur masuk dalam tradisi Kristen. Hampir di seluruh dunia, termasuk di Palestina, hari Natal adalah hari libur dan diakui oleh semua (termasuk yg non Kristen) sebagai peringatan hari kelahiran Tuhan Yesus Kristus. Tradisi ini sudah mengakar jauh ke dalam.
> Tahun 1100, Natal sudah menjadi perayaan keagamaan terpenting di Eropa. Bahkan di Amerika Serikat, Santa Claus (sinterklas) yang menggantikan Santo Nikolas sudah dianggap sebagai lambang usaha untuk saling memberi.
> Pada tahun 1500-an, di masa reformasi, banyak orang Kristen yang mulai menyebut hari Natal sebagai hari raya kafir, sebab mengikutsertakan kebiasaan kafir tanpa dasar keagamaan yang benar.
> Pada tahun 1600-an, karena adanya perasaan tidak enak itu, Natal dilarang di Inggris dan banyak koloni Inggris di Amerika. Namun, masyarakat tetap meneruskan kebiasaan tukar-menukar kado, dan tak lama kemudian kembali kepada tradisi semula.
> Sejak tahun 1800-an, ada 2 kebiasaan baru yang dilakuakn pada hari Natal, yaitu menghias pohon Natal dan mengirim kartu Natal kepada sanak saudara & teman-teman.
> Sejak tahun 1900-an, perayaan Natal menjadi semakin penting untuk berbagai bisnis.
III. SIKAP YANG BENAR
1. Natal bukan hari suci umat Kristiani. Hari suci tidak lagi relevan di zaman PB ini, karena semua hari adalah harinya Tuhan. Janganlah men'dewa'kan hari tertentu (termasuk natal) (Galatia 4:10-11; Kolose 2:16).
2. Jangan merayakan Natal seperti orang yang tidak mengenal Tuhan, mabuk-mabukan dengan minuman beralkohol, berdansa, pesta pora yang berlebihan sampai kehilangan natal yang sesungguhnya.
3. Natal adalah sarana penginjilan yang luar biasa karena sudah identik dengan kekristenan itu sendiri. Semua yang merasa dirinya Kristen, pasti datang kebaktian/misa di hari Natal. Jangan merasa tertuduh, tetapi pakailah perayaan Natal untuk kemuliaan Tuhan.
Bawa kado jiwa-jiwa dan semua yang terbaik untuk Tuhan.
4. Natal bisa dijadikan moment untuk menunjukkan kasih dan kepedulian kita pada sesama.
5. Natal yang sejati adalah kalau Yesus sudah lahir di hati kita, menjadi Tuhan dan Juruselamat. Bukan sekedar memperingati Yesus yang telah (past tense) lahir di dunia (sebagai sejarah), tetapi mengalami Yesus dalam hidup sehari-hari (present tense).

Dari: http://groups.yahoo.com/group/rohani/message/14690

Memahami Makna Natal




Oleh
Pdt Mangapul Sagala

Seorang pernah mengatakan: “Christmas means a different thing for a different person”. Natal memiliki makna yang berbeda untuk orang yang berbeda. Saya kira pernyataan tersebut tidak dapat disangkal.
Saya bersyukur pernah tinggal selama kira-kira sepuluh tahun di Singapura, yaitu sebuah negara yang sangat sekuler. Dalam kurun waktu tersebut, saya menyaksikan bagaimana negara tersebut sedemikian meriah dan indah pada bulan Desember. Sejak akhir bulan November, lagu-lagu Natal sudah terdengar, baik di hotel, restoran dan pusat-pusat perbelanjaan. Suasananya memang sangat jauh berbeda dari bulan-bulan sebelumnya.
Namun apa artinya semua itu? Menurut pengamatan saya, Natal lebih bernuansa business daripada kerohanian.
Barangkali, untuk seorang anak kecil, Natal berarti hadiah, di mana pada saat Natal, dia selalu mendapatkan barang baru, seperti baju baru, sepatu baru. Tanpa semua itu, rasanya, Natal belum tiba. Hal seperti itu juga yang menjadi pengalaman penulis di masa kecil.
Bagi aktivis Gereja, barangkali Natal berarti melakukan berbagai macam kesibukan, mulai dari menghias Gereja dengan berbagai dekorasi yang indah dan asesoris yang mahal, termasuk menghias pohon terang. Selain itu, ada juga kesibukan paduan suara, latihan drama, latihan menari atau berbagai jenis aktivitas lainnya. Memang, dalam kenyataannya, aktivitas anggota jemaat meningkat tajam selama Desember.
Namun, pertanyaan kritis dapat diberikan. Apakah tanpa semua itu, Natal menjadi tidak sah? Apakah orang-orang yang sibuk, bahkan dapat disebut super sibuk selama Natal telah menjamin adanya Natal yang sejati?
Dalam kenyataannya, tidak demikian. Ada cukup banyak orang yang setelah sibuk dengan berbagai kegiatan Natal, selain mengalami kelelahan, tidak mengalami apa-apa. Segera setelah Desember lewat dan memasuki Januari, segala kesibukan tersebut berakhir, simbol-simbol Natal, seperti pohon terang pun tidak lagi terlihat.
Namun apa yang masih sisa? Barangkali, jawabnya bisa sangat menyedihkan. Tidak ada yang tersisa. Hati kosong, tetap kosong dan bahkan semakin kosong. Orang-orang yang berbuat dosa, tetap berbuat dosa! Dalam kondisi demikian, Natal bukan saja menjadi tidak bermakna, tapi bahkan sesat makna.

Natal Sesungguhnya
Dalam kondisi seperti di atas, Gereja dan umat harus terus-menerus waspada agar tidak terjerat kepada kegiatan dan rutinitas semata. Untuk itu, Gereja harus melepaskan diri dari berbagai pengaruh dunia yang negatif serta terus-menerus kembali kepada Alkitab. Dengan demikian, umat dapat memahami makna Natal yang sesungguhnya.
Alkitab dengan sangat jelas mewartakan adanya makna Natal yang bersifat objektif. Maksudnya, melalui kelahiran Yesus Kristus di hari Natal tersebut, sesuatu hal yang sangat penting dan mendasar terjadi kepada manusia berdosa.
“Karena Allah sedemikian mengasihi isi dunia ini, sehingga Ia telah memberikan AnakNya yang Tunggal, supaya setiap orang yang percaya kepadaNya tidak binasa, melainkan beroleh hidup yang kekal” (Yoh.3:16). Itulah kabar baik yang sangat penting dan mendasar diwartakan di dalam Injil Yohanes. Dengan perkataan lain, manusia yang seharusnya binasa karena dosa, beroleh pengampunan dan keselamatan yang pasti.
Sesungguhnya, keselamatan dan hidup kekal tersebut adalah suatu anugerah yang sangat berharga yang tidak mungkin dapat dibeli dengan uang atau dicapai dengan kemampuan manusia. Hidup kekal tersebut, juga tidak dapat diberikan oleh agama dan keyakinan apapun.
Namun, sangat disayangkan, sekalipun berita Alkitab tersebut sangat jelas, dalam kenyataannya, banyak orang yang setelah merayakan Natal tetap saja tidak memiliki keyakinan akan pengampuan dosa serta kehidupan yang kekal.
Hal itulah yang pernah disaksikan oleh seorang nenek yang telah berusia lanjut. Ketika seorang pendeta bertanya ke mana jiwanya setelah meninggal, dengan ringan nenek tersebut menjawab: “Tidak tahu”.
Kiranya hal seperti itu tidak terjadi kepada kita semua. Sebaliknya, kita menunjukkan bahwa sesungguhnya segala kesibukan tersebut di atas keluar sebagai ungkapan syukur karena telah mengalami karyaNya yang sangat ajaib tersebut.
Tidak saja demikian, kehidupan seluruh umat yang telah mengalami keselamatan tersebut, harus terus-menerus diilhami oleh teladan Yesus Kristus yang sedemikian sempurna. Keteladanan Yesus tersebut sangat diperlukan dalam membangun masyarakat dan bangsa yang sedang mengalami berbagai macam krisis kehidupan.
Teladan seperti apa? Teladan Yesus yang hidup mengasihi, memang sangat diperlukan dalam dunia yang penuh kebencian dan persaingan. Teladan Yesus yang rela berkorban dan semangatNya memberi diri bagi kebaikan sesama, merupakan hal lain yang sangat penting dan mendesak untuk kita miliki, khususnya di dalam dunia yang semakin egois dan tidak perduli kepada sesama.
Akhirnya, teladan kesederhanaanNya, juga sangat diperlukan dalam zaman yang sangat menonjolkan dan membanggakan kemewahan ini. Di tengah-tengah gaya hidup yang semakin wah dan gemerlapan, ada satu fakta dan realita yang penting untuk direnungkan: Tuhan dan Juruselamat dunia, lahir di dalam palungan.
Seorang rekan pernah memberikan sebuah pernyataan yang sangat mengesankan: “Satu-satunya Pribadi yang dapat memilih tempat kelahiranNya, memilih lahir di palungan”. Jika demikian, teladan siapa yang sedang kita ikuti?