Senin, 24 November 2008

Pendeta Borju dan Pendeta Burjo

Penulis : Xavier Quentin Pranata/Purnawan Kristanto

'Jangan menikah dengan pendeta,' ujar seorang ayah kepada anak gadisnya, 'masa depanmu akan suram.' Ucapan yang dulu catat: dulu sering kita dengar, belakangan ini makin jarang kita dengar. Mengapa? Menjadi seorang pendeta pada zaman dulu memang serba susah, apalagi kalau sedang perintisan. Mereka sering berpuasa, bukan karena sengaja, tetapi terpaksa. Uang kolekte yang tidak sampai sepuluh ribu rupiah setiap kali kebaktian BAHANA pernah melayani di sebuah gereja di pegunungan yang kolektenya Rp 6.500,- setiap kali kebaktian dan persembahan bulanan yang tidak selalu berupa uang, membuat pendeta harus super irit. Seorang pendeta yang hendak naik mimbar seringkali tidak sempat sarapan, bukan karena tidak ada waktu, tetapi tidak ada makanan. Ada juga yang memakai strategi makan dua kali sehari. Agar siangnya tidak lapar, dia baru makan sekitar jam 11 siang. Itu pun hanya burjo alias bubur kacang ijo yang harganya paling murah di warung mi instan. Sebaliknya, dewasa ini, semakin banyak saja pendeta yang hidupnya makmur, sehingga tidak lagi makan burjo, tetapi malah bergaya borju (bourgeois, Perancis). Sebenarnya, manusia memang memiliki kecenderungan seperti itu. Abraham Maslow sejak lama mengatakan bahwa semakin tinggi penghasilan seseorang, semakin tinggi juga jenjang kebutuhannya. Jika kita baru pada taraf cari makan, maka untuk sampai ke kebutuhan aktualisasi diri masih jauh di awan-awan.

Karena BAHANA bergaul dengan hamba Tuhan dari kalangan mana pun, maka bertaburanlah contoh-contoh dari kedua jenis pendeta di atas. Kita mulai saja dari yang dianggap borju.

Yang Dianggap Borju

Suatu siang di resto steak ternama di Jakarta. BAHANA ditraktir makan siang oleh seorang penginjil yang sudah malang melintang di dunia pelayanan. Meskipun tidak ada yang nambah, karena steak yang kami pesan daging impor, maka bill yang harus dibayar penginjil itu mencapai ratusan ribu rupiah. Saat mengobrol, BAHANA tahu bahwa kebiasaan mentraktir sesama rekan pelayanan itu sudah menjadi hal yang biasa baginya. 'Berkat yang aku terima dari Tuhan harus aku bagikan kepada orang lain,' ujarnya.

Hal senada diucapkan juga oleh Pdm. Hanny Layantara, MA. Suami Ev. Agnes Maria ini mempunyai kebiasaan yang baik. 'Kami menganggarkan sampai 30% untuk memberkati sesama hamba Tuhan,' ujarnya tanpa nada sombong.

BAHANA yang mengenal dekat pasangan ini menyaksikan secara langsung bagaimana cara mereka mengatur keuangan. Meskipun tidak bermaksud mengintip tabungan mereka, BAHANA tahu mereka sangat care terhadap sesama tubuh Kristus. Beberapa hamba Tuhan yang BAHANA kenal, mengatakan mereka memperoleh berkat dari pasangan yang harmonis dan serasi ini. 'Studiku di STII juga disponsori oleh mereka,' ujar seorang pendeta kepada BAHANA.

Lalu, bagaimana dengan gaya hidup mereka? Orang luar memang menyaksikan pendeta terkenal identik dengan pola hidup mewah. Setiap kali mereka diundang pelayanan, mereka naik pesawat (bahkan ada yang executive/first class), menginap (baca: diinapkan) di hotel berbintang, dan makan (baca: diajak makan) di restoran kelas atas atau di hotel-hotel berbintang. Pakaian mereka pun mulai hem, dasi, jas dan sepatu selalu yang branded atau jahitan boutique dan taylor papan atas.

Bagaimana kalau di kotanya sendiri? Sama saja. Sebagai wartawan dan rohaniwan, BAHANA sering diundang untuk peliputan atau pelayanan Firman mulai dari kota metropolitan Jakarta sampai pelosok tanah air. Hamba Tuhan kelas atas senantiasa necis dalam penampilan. Rumah mereka pun di atas rata-rata rumah kebanyakan. Mobilnya juga relatif muda. Namun, jangan langsung mencap mereka glamour. Mereka hanya menyesuaikan diri dengan jemaat yang mereka layani. Contohnya: pendeta yang melayani di seputar segi tiga emas di Jakarta tentu berpenampilan necis karena jemaat yang mereka layani pun rata-rata berpenampilan demikian. Sebaliknya hamba Tuhan yang melayani di pedesaan akan tampak mencolok kalau mereka mengenakan jas mahal dan sepatu mengkilap.

Meskipun demikian, tidaklah bijak menilai orang hanya dari penampilannya saja. Dari pengamatan BAHANA di lapangan banyak di antara mereka yang sangat care dan peduli terhadap jemaat maupun sesama hamba Tuhan. Keluarga Hanny Layantara, misalnya. Bersama Agnes mereka menyisihkan sebagian berkat yang mereka terima untuk menolong hamba Tuhan lain. Gembala GBI Happy Family Center ini tidak saja berbagi materi, tetapi juga hati. 'Kami senang sekali mengajak hamba Tuhan yang ke Surabaya untuk makan bersama,' ujarnya, 'dengan demikian kami bisa saling belajar.'

Hanny dan Agnes banyak membantu keluarga-keluarga Kristen untuk memaksimalkan potensi mereka dan terutama keharmonisan mereka. Itulah sebabnya gereja mereka memiliki motto: 'Changing the World through Family.' Semuanya itu tertuang dalam visi gerejanya, 'Gereja yang sangat berpengaruh bagi masyarakat dalam pengajaran, penyembahan, dan misi.'

Pdt. Ir. Timotius Arifin adalah contoh lainnya. Gembala GBI Lembah Pujian, Denpasar, ini malah membatasi dirinya sendiri untuk memakai berkat yang Tuhan berikan. Bukan membatasi berkat Tuhan, tetapi membatasi haknya dalam memakainya. 'Saya digaji kok,' ujarnya. Saat membangun gerejanya yang bisa menampung ribuan orang sekaligus, dia menyisihkan 10% dana pembangunan untuk membangun gereja lain di luar denominasinya. 'Kalau saya memakai semua hak saya, saya bisa plempeken (Jawa: kelebihan),' ujarnya kepada BAHANA.

Meskipun memiliki jas-jas buatan luar negeri yang mahal, di dalam kesehariannya, dia tampak bersahaja. Sikap, ucapan dan perilakunya pun tidak sombong dan menyombongkan diri. 'Aku ingin satu hal dalam hidupku,' ujar suami Pdm. Fifi Sarah Yasaputra ini, 'yaitu Christ likeness (seperti Kristus, red.).'

Yang Burjo

Taraf dan gaya hidup yang berbeda dialami dan dijalani oleh Pdt. Danny Susanto. Ketika pertama kali memasuki Gunungkidul, tahun 1964, wilayah itu masih sangat gersang dan terkenal dengan wabah penyakit busung lapar. Penduduknya masih makan thiwul (makanan dari tepung ketela pohon) karena begitu miskinnya. Selain itu, pada musim kemarau juga pasti mengalami kekurangan air bersih secara serius. Keadaan ini tidak menyurutkan tekad Danny muda untuk melaksanakan misi dari Majelis Pusat Dewan Pantekosta Indonesia, yaitu merintis jemaat Pantekosta di Gunungkidul.

Benih yang ditanamnya mulai bertumbuh dan menghasilkan buah. Ada banyak jiwa baru di Wonosari ibukota Gunungkidul yang dimenangkan. Anak-anak kecil juga mengikuti acara Sekolah Minggu dengan bergairah. Namun karena suatu sebab, jemaat itu pecah menjadi tiga. Masing-masing digembalakan oleh Pdt. Danny, Pdt. Yamto dan Pdt. Barsilla. Jemaat yang di bawah pimpinan Pdt. Barsila berkembang dengan pesat dan sudah punya gedung gereja yang megah. Sementara itu, Pdt. Danny hanya 'kebagian' 20 jemaat.

Ketika Purnawan dari BAHANA berkunjung ke rumahnya, kami duduk di kursi sofa yang sudah tua. Di samping kiri, ada meja besar dengan pesawat TV 14 inchi yang warnanya sudah pudar di atasnya. Di bagian belakang terdapat dua lemari besar dengan kaca yang besar. Dindingnya terbuat dari tripleks dengan hiasan kalender yang memajang foto Yacob Nahuway. Di sepanjang dinding terlihat tempelan gambar-gambar bunga dan buah-buahan dari kalender bekas. Selain sebagai hiasan, gambar ini sekaligus berfungsi menutupi bagian tripleks yang mulai terkelupas. Lantainya berupa tegel dari batu kapur yang mulai pecah. Di bagian tengah terlihat tiang rumah dari kayu kasar, karena tidak diserut dengan halus. Dari ruang tamu itu, BAHANA bisa melihat atap dari genting yang disangga bambu.

Danny lalu bercerita bahwa ketika muda, dia mendapat bantuan untuk bersekolah Alkitab di Beji, Malang. Di sekolah itu, Danny muda mendapat tugas praktik kerja di luar Jawa. Setelah lulus, dia lalu melayani di Jakarta. Di bawah pimpinan A.H. Mandey, Danny mendapat tanggung jawab untuk mengajar Sekolah Minggu di Jakarta. Kemudian mendapat tugas untuk merintis jemaat di Gunungkidul.

Selama bincang-bincang itu, BAHANA harus bicara dengan suara keras karena fungsi pendengaran pria dari Salatiga ini sudah menurun. Untunglah, kami banyak mendapat bantuan dari Rut, anak bungsu Danny, yang mendampinginya selama wawancara. Gangguan kesehatan itu mendera Danny, semenjak dia mengalami kecelakaan lalu lintas beberapa tahun lalu. Waktu itu, dia memboncengkan temannya dalam rangka ikut seminar di kota Jogja. Dari Wonosari, jaraknya sekitar 40 km dan harus melewati jalan yang berkelok-kelok.

Sepeda motor yang dikendarai Danny berserempetan dengan sebuah mobil. Keduanya terjatuh dan Danny langsung tidak sadarkan diri. Dalam kecelakaan itu, suami Eka Susanto ini (meninggal tahun 1991) harus mengalami pembedahan otak. Setelah operasi itu, Danny mengalami penurunan fungsi kerja otak. Dia mengalami kesulitan dalam berkomunikasi dengan orang lain. Meski begitu, pria 64 tahun ini masih bersemangat melayani Tuhan. Dia masih mampu memimpin kebaktian dan berkhotbah.

Soal pemenuhan kebutuhan hidupnya, ayah dari empat anak ini mengaku hanya mengandalkan Tuhan. Bagaimana tidak, secara logika jumlah persembahan dari 20 atau 451 jemaat di desa jelas jauh dari kata cukup. Karena itulah, Danny bersyukur karena Tuhan menggerakkan dua Yayasan yang masing-masing memberi bantuan sebesar Rp. 200 ribu. Sekali waktu, Danny juga mendapat kiriman uang dari bekas-bekas murid Sekolah Minggu di Jakarta. Selain itu, juga menerima perpuluhan dari salah satu pemilik toko di kota Wonosari. Dengan kondisi, itu dia bisa hidup sederhana dan menyekolahkan anak-anaknya.

Keseimbangan

Jika kita melihat kehidupan hamba Tuhan kota dan desa, kita melihat betapa besar kesenjangannya dalam taraf hidup maupun gaya hidup mereka. Namun, jika kita melihat isi hati mereka yang paling dalam, mereka memiliki kesamaan paling tidak dalam dua hal. Pertama, mereka ingin melayani Tuhan di ladang pelayanan mereka masing-masing. Kedua, mereka memiliki kerinduan yang dalam untuk memiliki karakter Kristus. Yang utama dan terutama adalah keseimbangan. 'Sebab kamu dibebani bukanlah supaya orang-orang lain mendapat keringanan, tetapi supaya ada keseimbangan. Maka hendaklah sekarang ini kelebihan kamu mencukupkan kekurangan mereka, agar kelebihan mereka kemudian mencukupkan kekurangan kamu, supaya ada keseimbangan' (II Korintus 8:13-14).

Bagi jemaat, kita tidak perlu memperuncing kesenjangan itu dengan menganggap pelayanan yang satu lebih utama dari pelayanan yang lain. Yang justru perlu kita lakukan adalah memberkati mereka dengan apa pun yang bisa kita lakukan. Doa. Dana. Dorongan.
http://artikel.sabda.org/pendeta_borju_dan_pendeta_burjo

0 komentar: